Jumat, 23 Juli 2010

OTORITAS KEMUNGKARAN SIMBOL OTORITER DAN KETIDAKMAMPUAN DIRI

Prolog Diri :

Siapa …, Apakah…, Bukan Aku…, Ataukah Memang Aku…!

Penyangkalan diri adalah rektorika ketidakmampuan manusia dengan segala sesuatu yang bernuansa etis. Sekali menyangkal, kemungkaran itu akan semakin kokoh dengan hegemoni rektorikanya.

Prolog di atas adalah ungkapan yang pantas dipertanyakan pada diri pribadi manusia, lebih – lebih lagi bagi para pemimpin. Otoritas diri sebagai suatu kefaktaan harus merupakan batas sekaligus parameter kemampuan diri yang memang terkadang terjadi pertentangan antara nilai - nilai etis diri dalam pribadi setiap menusia yang akhirnya akan melahirkan suatu identitasnya tersendiri dalam kesemuannya sebagai respek dari ketidakkemampuan diri untuk tampil sebagi otoritas yang sebenarnya.

Konsistensi, kemampuan dan ketidakmampuan diri dilatarbalakangi oleh dalih dan rektorika etika yang dasarnya dogmatis. Terlalu sering menjadi subyek bagi perlakuan yang salah, akan melahirkaan identitas yang tidak bergantung pada bentuk etis tampilan pribadinya sebagai suatu bentuk keseluruhan yang prinsipil pada kultus pribadi yang otoriter. Sebagai bentuk diri, kefaktaan yang pertama adalah kemampuan diri, kefaktaan yang terakhir tanggung jawab diri.

Sinyal-sinyal positif selalu dimaknai sebagai suatu keotoriteran diri dengan mengeksistensikan sebuah prestise, style dan rektorika kemungkaran untuk sebuah aplikasi ketidakmampuan. Sesungguhnya ini adalah kenegatifan yang dipositifkan (pembodohan diri) untuk kebenaran pemahaman dalam berdalih yang merupakan sebuah penyangkalan akan realitas diri yang sebenarnya, dimana dia harus tampil dalam topeng kerancuan dan keterbalikan akan keadaan diri yang tidak terukur oleh nilai-nilai etis akan kefaktaan dan keaslian diri.

Otonomi diri sebenarnya adalah hak-hak individu yang dihormati sebagai suatu bentuk toleransi dari otoritas masing-masing pribadi. Realitas manusia sebagai pemimpin adalah merupakan individu yang riil dalam kumpulan komunitas yang kompleks dengan heterogenitas dan pluriformitasnya harus dilihat sebagai suatu kefaktaan otoritas keseluruhan. Fakta-fakta yang terjadi adalah otoritas kemungkaran dengan rektorika hegemoninya. Fakta ini sebenarnya adalah ketidakamampuan diri dalam memimpin. Suatu keotoriteran kekuasaaan yang sudah mengakar pada ketidakaslian hakikatnya janganlah dijadikan symbol diri.

Mobilisasi vertical maupun horizontal dari rektorika kemungkaran tersebut untuk sebuah otoritas yang otoriter telah mencapai level teratas dengan frekuensi dan akselerasi yang semakin tinggi. Etisnya proses tersebut merupakan wujud pencapaian otoritas yang sangat-sangat bertentangan dengan standaritas moral agama sebagai personalitas diri dalam sosialitas peradaban diri.

Self corection bagi seorang pemimpin harus dilihat dalam batas-batas yang konstruktif, bukan batas-batas yang moral destruktif, - batas-batas yang terpikirkan (thinkable) dan hal-hal yang tak terpikirkan (unthinkable) oleh doktrin agama dan kefaktaan sejati dari eksistensi diri.

Kepribadian harus dihubungkan dengan kesejatian dalam kefaktaan pertama yaitu kemampuan diri dan kefaktaan yang terakhir yaitu tanggung jawab. Yang lebih penting adalah untuk memahami bahwa otoritas kemungkaran adalah symbol keotoriteran dan ketidakmampuan diri, pemahaman yang seharusnya dikubur dalam ketidaksejatian dan ketidakunggulan dalam mengkondisikan suatu kenyataan (realita).

Pandangan sebuah rektorika terhadap bentuk kemampuan dan ketidakmampuan diri dimaknai sebagai verifikasi kebenaran dalam sebuah upaya penanggalan kesejatian diri atau fenomena diri untuk mencapai penunggalan dalam dimensi dan sisi diri yang lainnya dalam konteks tampilan yang bukan diri yang sesungguhnya yaitu kesemuan diri terhadap kenyataan sebagai bentuk penolakan kenyataan diri.

Menghisab diri merupakan pengejawantahan diri akan perenungan suatu dosa pada kenyataan yang harus dimengerti dengan ihktiar yang sebenarnya. Otoritas sebagai suatu otonomi diri haruslah merupakan keseluruhan kepribadian yang etis sebagai suatu kemampuan diri. Symbol-simbol kemampuan dan ketidakmampuan diri dalam bingkai kemungkaran oleh suatu otoritas adalah penjelamaan sikap dan perilaku yang berlandaskan pada kesadaran dan ketidaksadaran ysng timbul dari dalih dan rektorika sebyektif egoisme semata. Nurrudin Asyhadie, dalam bukunya Hamparan-Hampiran Gramatologi Derida mengatakan bahwa “ There are not facts in themselves for asense must always be projected into them before there can be facts ” ( Tidak ada kenyataan dalam dirinya sendiri karena sebuah makna selalu diproyeksikan dalam diri mereka sebelum menjadi kenyataan ), (2004).

Otokritik merupakan jalan untuk berkenalan dengan diri sendiri sebagai usaha untuk memahami dan menghayati etis tidaknya sikap dan perilaku otonomi diri yang relevan dengan otoritas kesejatian yang sebenarnya, juga sebagai bentuk dari kesadaran dan kemampuan individu dalam komunitasnya dari pencerminan nilai etis tersebut dalam pemenuhan hubungan timbal balik (reciprocity) dan keseimbangan otoritas diri sebagai suatu penghayatan otonomi pribadi masing-masing.

Epilog diri :

Sadar…, atau setengah sadar…, dan atau tidak sadar sama sekali…, itulah pertanyaan hakekat diri sebagai media otokritik akan eksistensi kesejatian diri.

Kesadaran akan kepribadian lahir karena dua hal, yaitu kesejatian dan kesemuan diri itu sendiri. Pada hakikatnya kesadaran akan kemampuan maupun ketidakmampuan adalah keterpaksaan diri akan kefakataan yang ada.

Penulis :

YUDDIN CHANDRA NAN ARIF

Ø Departemen Humas & Penerangan Pemuda Muhammadiyah Kota Bima.

Ø Staff Dosen STIH Muhammadiyah Bima.